MAKALAH ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN KEMISKINAN
ILMU SOSIAL DASAR
ANALISA JURNAL
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI
TEPAT GUNA
NATASYA WULANDARI (10120839) 1KA11
FAKULTAS ILMU
KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2020/2021
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Berbagai kebijakan
penanggulangan kemiskinan telah banyak diupayakan oleh pemerintah antara lain
penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna (TTG). Partisipasi
masyarakat menjadi faktor penting untuk keberhasilan penanggulangan kemiskinan
dengan pemanfaatan TTG (Craty dan May, 1995 dalam Hikmat 2004), dan untuk
mendukung keberhasilan penanggulangan kemiskinan dengan TTG perlu dilakukan
pendampingan secara berkelanjutan (UU No18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup). Salah satu kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
dilakukan oleh Kementerian Riset dan Teknologi di Kabupaten Banyumas Purwokerto
adalah penempatkan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPA), yaitu Teknologi Tepat
Guna (TTG) yang dirancang untuk membantu perajin tahu dalam kategori miskin
dengan mengolah air limbah tahu menjadi biogas. Biogas yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak, sehingga perajin tahu diharapkan
tidak perlu lagi mengeluarkan beaya untuk membeli bahan bakar minyak. Namun
demikian kenyataan menunjukkan bahwa penempatan IPAL untuk penanggulangan
kemiskinan belum berhasil dengan baik karena beberapa faktor; kurangnya
partisipasi perajin tahu dalam memanfaatkan IPAL yang terejawantah dalam
bentuk-bentuk perilaku : tidak bersedia membayar iuran perawatan IPAL, membuang
sampah dan kotoran hewan menjadi satu dengan limbah, jarak rumah dengan
pembuangan sampah dan kotoran hewan terlalu dekat. Selain rendahnya partisipasi
perajin tahu untuk memanfaatkan IPAL. belum diupayakan pendampingan secara
profesional Atas dasar alasan tersebut, maka dilakukan kajian tentang
penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG, dengan fokus perhatian pada
perajin tahu dalam kategori miskin di Dusun Grumbulmunthuk, kemudian menentukan
alternatif kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan meningkatkan partisipasi
perajin tahu dalam memanfaatkan IPAL. Pendampingan bagi perajin tahu untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan IPAL dengan menempatkan
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) kiranya dapat dijadikan salah satu
alternatif kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG/IPAL.
Dengan mengetengahkan berbagai permasalahan tentang penanggulangan kemiskinan
dengan pemanfaatan TTG/IPAL.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
1. Faktor-faktor apakah yang berkaitan dengan partisipasi
perajin tahu dalam memanfaatkan TTG/IPAL
2. Bagaimanakah
bentuk pendampingan yang harus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi perajin tahu?
1.3 TUJUAN
PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai faktor yang berkaitan dengan partisipasi perajin tahu dalam pemanfaatan TTG/IPAL, mengetahui alternatif kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG/IPAL pada perajin tahu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi; Kementerian Sosial khususnya Ditjen Dayasos dan Gulkin, serta Kementerian Riset dan Teknologi dalam rangka pengembangan kebijakan penanggulangan kemiskinan pada umumnya, secara khusus penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG /PAL.
Bab II
ISI
1. Partisipasi Perajin
Tahu dalam Memanfaatkan IPAL
Dusun Grumbulmuntuk
adalah salah satu wilayah di Desa Sokaraja Tengah, Kecamtan Sokaraja, Kabupaten
Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Dusun Grumbulmuntuk terdiri dari 6 RT. Kawasan
RT 03 adalah salah satu wilayah yang dipilih oleh Pemerintah Daerah Kab. Banyumas
untuk penempatan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). dengan alasan, bahwa Grumbulmunthuk yang
dihuni oleh 110 kepala keluarga, 25 kepala keluarga diantaranya adalah sebagai
perajin tahu . Dari 25 kepala keluarga perajin tahu tersebut seluruhnya belum
memanfaatkan IPAL. Dilihat dari kondisi ekonomi, sebagian warga di Dusun
Grumbulmuntuk termasuk dalam kategori kurang sejahtera, keterbatasan
penghasilan yang berkisar antara Rp 30.000,00-Rp 40.000,00 per hari. Lebih
kecil dari yang ditentukan oleh BPS (2014) yang menentukan kategori miskin
dengan pendapatan kurang Rp 447.797,- per bulan per orang. Proses pembuatan
tahu dikerjakan oleh keluarga, minimal dua orang anggota keluarga yang bekerja
dari jam10. 00 sampai selesai jam 15.00. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara
rutin setiap hari sebagai pekerjaan warisan dari orang tua. Penghasilan yang
diperoleh menjadi tidak sebanding dengan lamanya waktu yang diperlukan untuk
bekerja. Untuk mencukupi kebutuhan sekolah, orangtua harus melakukan pekerjaan
sampingan; sebagai buruh bangunan, buruh cuci dan beternak kambing. Tingkat
pendidikan, di wilayah RT 03 di desa Grumbulmunthuk diketahui, bahwa sebagian
besar 60 persen mengenyam pendidikan setingkat SD dan 40 persen berpendidikan
SLTP. Rendahnya tingkat pendidikan dalam kenyataan berakibat pada rendahnya
pengetahuan dalam memanfaatan IPAL. Hasil pengamatan langsung di desa
Grumbulmunthuk diketahui, bahwa kondisi lingkungan perumahan para perajin tahu
ternyata cukup padat dan relatif kumuh dengan kemanfaatan selain digunakan
sebagai tempat hunian digunakan pula sebagai tempat usaha yakni kegiatan
pembuatan tahu, kandang ternak dan pembuangan sampah. kemiskinan yang dialami
oleh perajin tahu berakibat pada rendahnya partisipasi untuk memanfaatkan
TTG/IPAL. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan perajin tahu tentang
pemanfaatan IPAL, belum adanya kesiapan masyarakat untuk menerima program,
serta lemahnya kerja sama lintas sektoral dalam penanggulangan kemiskinan
dengan pemanfaatan TTG/IPAL, merupakan berbagai faktor yang Jurnal PKS Vol 14
No 3 September 2015; 317 - 328 321 berkaitan dengan partisipasi perajin tahu
dalam memanfaatkan TTG.
Hasil penelitian Wahyu
Setyawati, Tity (2010) menyimpulkan terdapat hubungan antara pendidikan dan
pendapatan terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dengan
memanfaatkan Teknologi Tepat Guna. Dari hasil wawancara, ternyata partisipasi
perajin tahu berpedidikan SD (15 orang) dengan tingkat partisipasi rendah dan
berpendidikan SLTP (10 orang) cukup. Tingkat partisipasi terbagi menjadi cukup
dan rendah. Untuk kategori cukup, bentuk partisipasi yang dilakukan masih
sebatas pada pemanfaatan IPAL dan pemasok limbah, belum sampai pada perawatan,
pembayaran iuran dan ikut serta dalam kegiatan kelompok. Untuk partisipasi yang
rendah, bentuk partisipasi yang dilakukan sebatas pada pengguna biogas. Terkait
dengan rendahnya pendidikan perajin tahu, hal ini disebabkan karena rendahnya
pendidikan orangtua, dan keterbatasan pengetahuan orangtua tentang arti
pentingnya pendidikan bagi anak. Sejak usia sekolah, anak-anak sudah belajar
membuat tahu dan berjualan di pasar. Kondisi yang demikian semakin nyata
kebenarannya, dari hasil wawancara dengan perajin tahu yang menyatakan bahwa
pekerjaan sebagai perajin tahu telah dilakukan bertahun-tahun secara turun
temurun dari nenek sampai ke anak cucu. Wawancara dengan salah seorang perajin
tahu yaitu (DN: bukan nama sebenarnya) yang berpendidikan SD dengan tingkat
partisipasi rendah, terungkap perihal keikutsertaanya untuk perawatan IPAL dan
pemeliharaan lingkungan tempat tinggal, maka jawaban yang diberikan adalah saya
biasa membuang sampah dan kotoran hewan di dekat rumah dan menjadi satu limbah
tahu. Selain itu juga belum memanfaatkan IPAL, untuk pembuatan tahu dia memilih
menggilingkan kedelai di tempat lain. Hal ini dilakukan karena menurutnya
ongkosnya lebih murah. Sedang untuk perawatan IPAL, mereka yang berpendidikan
SD mengaku tidak mampu membayar iuran, karena pendapatan yang diperoleh hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Menjadi faktor rendahnya
partisipasi perajin tahu untuk memanfaatkan IPAL. Kurangnya pengetahuan dalam perawatan IPAL
terlihat dengan perilaku; kurang peduli terhadap kerusakan pada saluran pipa
gas, belum melakukan komunikasi dan konsultasi dengan BLH selaku pembuat
program, dan belum ada kesanggupan membayar iuran perawatan IPAL secara rutin.
Hal ini terungkap dari pernyataan ketua RT sebagai ketua kelompok, “Jika
terjadi kerusakan pada pipa penyalur gas, hanya ketua kelompok saja yang mengeluarkan
biaya untuk membetulkan pipa gas dengan alasan belum mempunyai cukup uang untuk
membayar iuran”. “sebagai pemanfaat IPAL sebagaian dari mereka belum mau
meluangkan waktu untuk ikut serta memperbaiki dengan alasan tidak ada waktu” .
Diungkapkan pula bahwa masuknya teknologi baru, tidak serta merta membantu
masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi acapkali membebani masyarakat
baik secara mental (ketidakmampuan skill) maupun materiil dan menimbulkan beban
biaya yang tidak mampu dipenuhi masyarakat.
Erat kaitannya dengan
tingkat pendidikan adalah penghasilan dan matapencaharian (Sunarti: 2001).
Jenis mata pencaharian akan menentukan ada tidaknya waktu luang yang tersedia
untuk melakukan berbagai kegiatan di dalam masyarakat. Dari hasil wawancara dengan
perajin tahu diketahui penghasilan mereka yang berkisar antara Rp 30.000,00,-
sampai Rp 40.000,00,- per hari, dengan jumlah tanggungan keluarga antara lima
sampai enam orang, belum memperhitungkan tenaga dan bahan bakar, karena biogas
yang dihasilkan belum mampu untuk mengganti bahan bakar pembuatan tahu. Dengan
pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup se hari-hari,
perajin tahu mengaku tidak mampu mengeluarkan biaya untuk perawatan IPAL.
Perawatan IPAL dan menjaga lingkungan adalah norma yang harus ditaati ketika di
lingkungan perajin tahu terdapat IPAL. Hasil pengumpulan data tentang kesiapan
perajin tahu dalam pemanfaatan dan perawatan IPAL, diketahui bahwa pemanfaat
IPAL pengguna biogas belum mempunyai kesiapan baik secara ekonomi maupun
sosial. Ketidaksiapan secara ekonomi dapat diketahui dari keterbatasan
kemampuannya dalam mengumpulkan iuran untuk perawatan IPAL. Hasil wawancara
dengan 25 orang perajin tahu, diketahui baru 10 orang yang mempunyai
kesanggupan untuk membayar iuran perawatan IPAL. Kesiapan secara sosial antara
lain terlihat dari belum adanya kebersamaan masyarakat untuk pengelolaan
lingkungan dan perawatan IPAL. Hasil wawancara dengan ketua pengelola IPAL
diperoleh informasi bahwa kebersamaan perajin tahu untuk perawatan masih
rendah. Menghadapi masalah tersebut ketua pengelola IPAL menyatakan: “untuk
mengelola Penanggulangan Kemiskinan dengan Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna
(Sri Prastyowati) 324 lingkungan dan perawatan IPAL secara berkelanjutan kami
memerlukan pendampingan”. Pendampingan
yang dilakukan bukan sebatas pada perawatan IPAL, lebih dari itu perlu
diupayakan pendampingan untuk merubah perilaku yang kurang mendukung
keberhasilan pemanfaatan TTG/IPAL.
2. Alternatif kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dengan Pemanfaatan
TTG
Kerja sama lintas sektoral: Mengingat masalah
kemiskinan adalah masalah nasional yang dalam penanganannnya memerlukan
kerjasama antar instansi, maka kerjasama tersebut dapat dilakukan antara
Kementerian Sosial dengan Kementerian Riset dan Tekonologi serta masyarakat
pengguna. Di daerah kerjasama dilakukan antara Badan Lingkungan Hidup (BLH)
dengan Dinas Sosial dan masyarakat pengguna . Badan Lingkungan Hidup sebagai
penentu kebijakan penerapan IPAL dalam pelaksanaannya akan mempersiapkan
masyarakat untuk dapat menerima penempatan IPAL sebagai kebutuhan. Untuk
perawatan dan pemeliharaan IPAL dibutuhkan partisipasi masyarakat secara aktif.
Untuk meningkatkan partisipasi diperlukan perubahan perilaku yang mendukung
keberhasilan pemanfaatan IPAL. maka perlu diupayakan pendampingan secara
berkelanjutan. Untuk kegiatan pendampingan Dinas Sosial menempatkan Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK). Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
(TKSK), adalah pekerja sosial yang telah dibekali dengan ilmu-ilmu sosial murni
dan ilmu sosial terpanan. Pendamping dilakukan oleh seorang profesional dan
akan berperan sebagai fasilitator, komunikator, dan dinamisator terhadap
kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian (Soegijoko dkepala keluarga,
1997: 179). TKSK sebagai pendamping perajin tahu untuk memanfaatkan IPAL dengan
sasaran target pada peningkatan partisipasi perajin tahu akan melakukan peran
sebagai berikut. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan sebagai fasilitator ,
Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini adalah melakukan mediasi dan
negosiasi, memberi dukungan serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan
sumber. Negosiasi dilakukan antara perajin tahu dengan pemangku kebijakan.
Berdasarkan hasil konfirmasi dengan TKSK diketahui bahwa selama menjadi TKSK
belum pernah melalukan mediasi dan negosiasi berkaitan dengan pendampingan
dalam pemanfaatan IPAL. oleh perajin tahu dengan menyatakan “selama penempatan
IPAL di wilayahnya belum pernah mendapat pendampingan dari TKSK. Mediasi dan
negosiasi dilakukan sebelum dan selama program berlangsung. Sebelum program
berlangsung negosiasi dilakukan dalam rangka mendapat informasi terkait dengan
kemanfaatan TTG/IPAL bagi perajin tahu, sedang mediasi dan negosiasi selama
memanfaatkan IPAL dilakukan jika selama memanfaatkan IPAL perajin tahu menemui
masalah.
Tenaga Kesejahteraan
Sosial Kecamatan sebagai agen perubahan, Hasil wawancara dengan salah seorang
perajin tahu (HS) diperoleh informasi bahwa untuk pemanfaatan, perawatan IPAL
belum pernah dilakukan penyampaian informasi dan pelatihan secara rutin.
Terkait kerjasama antara Badan Lingkungan Hidup dengan Dinas Sosial Tenagakerja
dan Transmigrasi dapat dilakukan dengan memfungsikan TKSK untuk menyampaikan
informasi dan memberikan latihan keterampilan membangun kerjasama antara
perajin tahu dengan aparat Badan Lingkungan Hidup dan aparat pemerintah
setempat, di samping itu perlunya bekal pengetahuan tentang kemanfaatan IPAL.
Dengan perannya sebagai agen perubahan, TKSK akan melakukan pendekatan baik
kepada pembuat kebijakan. Peran sebagai agen perubahan ditujukan pula untuk
merubah perilaku perajin tahu dalam memanfaatkan IPAL. Peran TKSK sebagai wakil
perajin tahu, Hasil wawancara dengan TKSK diketahui bahwa perannya sebagai
pendamping dengan tugas menjadi wakil perajin tahu untuk memobilisasi sumber
dan memanfaatkan potensi masyarakat belum dilakukan karena berbagai
keterbatasan kemampuan yang dimilki oleh TKSK. Hasil konfirmasi melalui
wawancara dengan aparat Dinas Sosial (Dw): diketahui bahwa keterbatasan TKSK
terjadi karena kurangnya latihan keterampilan dalam hal menjalin kerjasama
untuk mobilisasi sumber dalam penanganan masalah kemiskinan. Dalam realita
pendampingan pemanfaatan IPAL belum dilakukan oleh tenaga yang mampu menjadi
wakil perajin tahu untuk mendapat informasi secara terkait dengan pemanfaatan
IPAL secara berkelanjutan. Berikut penuturan (Pangidin) perajin tahu pemanfaat
IPAL: “Kami baru mendapat pendampingan saat penempatan IPAL, untuk pemeliharaan
dan perawatan IPALbelum dilakukan pendampingan secara rutin dan terus menerus.”
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Hasil kajian tentang Penanggulangan Kemiskinan Dengan
Pemanfaatan
TTG/IPAL bagi perajin tahu di Dusun
Grumbulmunthuk, dapat disimpulkan; bahwa penempatan Instalasi Pengolah Air Limbah
(IPAL) dilingkungan perajin tahu
belum dapat dimanfaatkan dengan baik karena beberapa faktor yaitu: Penempatan IPAL dikalangan perajin tahu belum diiringi dengan partisipasi perajin tahu secara memadai atau partisipasi perajin tahu masih rendah. Rendahnya tingkat partisipasi perajin tahu yang disebabkan karena berbagai keterbatasan; rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan penghasilan perajin. Dengan berbagai keterbatasan, maka belum ada kesiapan dari perajin tahu baik secara ekonomi maupun sosial. Belum adanya kesiapan secara ekonomi terlihat dari sebagian besar perajin yang belum sanggup untuk membayar iuran pemeliharaan IPAL secara rutin, sedangkan untuk kesiapan secara sosial terejawantah dalam bentuk bentuk perilaku; membuang kotoran hewan manjadi satu dengan limbah tahu, lingkungan rumah tempat tinggal yang kumuh dan berdekatan dengan hewan peliharaan (sapi, kambing). Lemahnya kerjasama antar instansi dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna, kerja sama yang dilakukan masih sebatas regulasi. Dalam pelaksanaannya di daerah belum diupayakan kerja sama dengan melakukan komunikasi dan koordinasi antar instansi terkait.Penempatan tenaga pendamping yang menguasai ilmu pekerjaan sosial
terapan, akan menyiapkan perajin tahu untuk menerima
program penempatan IPAL untuk mengolah limbah
tahu menjadi biogas juga belum dilakukan, begitu
pula pendampingan untuk perawatan dan
perubahan perilaku perajin tahu.
3.2
SARAN
Mengingat pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna/IPAL yang belum dapat berhasil secara maksimal, maka rekomendasi yang diajukan adalah; Melakukan MOU di tingkat pusat antara Kementerian Riset dan Teknologi dengan Kementerian Sosial, sedang di
tingkat daerah Kabupaten/Kota. MOU dilakukan antara Dinas
Sosial Tenagakerja dan Transmigrasi dengan Badan
Lingkungan Hidup terkait dengan pemenpatan
IPAL yang berkelanjutan. Penempatan dan pemanfaatan IPAL berkelanjutan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan pendamping yang mampu melakukan penJurnal PKS Vol
14 No 3 September 2015; 317 – 328
327 dekatan
kepada masyarakat terkait berubahan perilaku dengan
memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat
setempat; Bagi Kementerian Sosial selaku penentu kebijakan dalam penanggulangan
kemiskinan, perlu mengupayakan pendampingan dengan
meningkatkan jumlah dan keterampilan Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dalam
membangun jalinan kerjasama antar instansi.
TKSK sebagai tenaga pendamping dalam
penanggulangan kemiskinan hendaknya melakukan
koordinasi dan komunikasi dengan instansi terkait.Melalui koordinasi dan komunikasi dengan Dinas Sosial, Badan Lingkungan Hidup (BLH), serta organisasi sosial fungsional lainnya. TKSK memberikan informasi memanfaatkan dan perawatan IPAL. Pengetahuan dan pemahaman masayarakat tentang kegunaan
dan manfaat IPAL akan berpengaruh terhadap perilaku. Dengan pengetahuan dan pemahaman perajin tahu tentang pemanfaatan dan
perawatan IPAL, diharapkan terjadi perubahan perilaku untuk
memanfaatkan IPAL; Bagi pemerintah daerah,
hendaknya melakukan inventarisasi secara
berkala tentang potensi wilayah, baik itu berupa
sumberdaya manusia maupun sumber daya alam.
Inventarisasi potensi sumber daya manusia dapat
dilakukan kerjasama antara pemerintah daerah
dengan masyarakat. Masyarakat melalui aparat
setempat (RT) memberikan informasi tentang potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimilki dan membuat rencana pemanfaatannya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Prastyowati,Sri.(2015).
Penanggulangan Kemiskinan dengan Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna. Jurnal PKS
Vol 14, No 3.