Selasa, 19 Januari 2021

Makalah Analisa Jurnal Penanggulangan Kemiskinan dengan Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna

 

MAKALAH  ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN KEMISKINAN

ILMU SOSIAL DASAR

ANALISA JURNAL

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA

 

 

NATASYA WULANDARI (10120839) 1KA11

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI

UNIVERSITAS GUNADARMA

2020/2021





--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

BAB I

PENDAHULUAN

1.1   LATAR BELAKANG

Berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan telah banyak diupayakan oleh pemerintah antara lain penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna (TTG). Partisipasi masyarakat menjadi faktor penting untuk keberhasilan penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG (Craty dan May, 1995 dalam Hikmat 2004), dan untuk mendukung keberhasilan penanggulangan kemiskinan dengan TTG perlu dilakukan pendampingan secara berkelanjutan (UU No18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Salah satu kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh Kementerian Riset dan Teknologi di Kabupaten Banyumas Purwokerto adalah penempatkan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPA), yaitu Teknologi Tepat Guna (TTG) yang dirancang untuk membantu perajin tahu dalam kategori miskin dengan mengolah air limbah tahu menjadi biogas. Biogas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak, sehingga perajin tahu diharapkan tidak perlu lagi mengeluarkan beaya untuk membeli bahan bakar minyak. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa penempatan IPAL untuk penanggulangan kemiskinan belum berhasil dengan baik karena beberapa faktor; kurangnya partisipasi perajin tahu dalam memanfaatkan IPAL yang terejawantah dalam bentuk-bentuk perilaku : tidak bersedia membayar iuran perawatan IPAL, membuang sampah dan kotoran hewan menjadi satu dengan limbah, jarak rumah dengan pembuangan sampah dan kotoran hewan terlalu dekat. Selain rendahnya partisipasi perajin tahu untuk memanfaatkan IPAL. belum diupayakan pendampingan secara profesional Atas dasar alasan tersebut, maka dilakukan kajian tentang penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG, dengan fokus perhatian pada perajin tahu dalam kategori miskin di Dusun Grumbulmunthuk, kemudian menentukan alternatif kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan meningkatkan partisipasi perajin tahu dalam memanfaatkan IPAL. Pendampingan bagi perajin tahu untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan IPAL dengan menempatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) kiranya dapat dijadikan salah satu alternatif kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG/IPAL. Dengan mengetengahkan berbagai permasalahan tentang penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG/IPAL.

 

 

1.2   RUMUSAN MASALAH

1. Faktor-faktor  apakah yang berkaitan dengan partisipasi perajin tahu dalam memanfaatkan TTG/IPAL

2. Bagaimanakah bentuk pendampingan yang harus dilakukan untuk meningkatkan     partisipasi  perajin tahu?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai faktor yang berkaitan dengan partisipasi perajin tahu dalam pemanfaatan TTG/IPAL, mengetahui alternatif kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG/IPAL pada perajin tahu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi; Kementerian Sosial khususnya Ditjen Dayasos dan Gulkin, serta Kementerian Riset dan Teknologi dalam rangka pengembangan kebijakan penanggulangan kemiskinan pada umumnya, secara khusus penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG /PAL. 

 

 

 

 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bab II

ISI

 

1.       Partisipasi Perajin Tahu dalam Memanfaatkan IPAL

Dusun Grumbulmuntuk adalah salah satu wilayah di Desa Sokaraja Tengah, Kecamtan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Dusun Grumbulmuntuk terdiri dari 6 RT. Kawasan RT 03 adalah salah satu wilayah yang dipilih oleh Pemerintah Daerah Kab. Banyumas untuk penempatan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL).  dengan alasan, bahwa Grumbulmunthuk yang dihuni oleh 110 kepala keluarga, 25 kepala keluarga diantaranya adalah sebagai perajin tahu . Dari 25 kepala keluarga perajin tahu tersebut seluruhnya belum memanfaatkan IPAL. Dilihat dari kondisi ekonomi, sebagian warga di Dusun Grumbulmuntuk termasuk dalam kategori kurang sejahtera, keterbatasan penghasilan yang berkisar antara Rp 30.000,00-Rp 40.000,00 per hari. Lebih kecil dari yang ditentukan oleh BPS (2014) yang menentukan kategori miskin dengan pendapatan kurang Rp 447.797,- per bulan per orang. Proses pembuatan tahu dikerjakan oleh keluarga, minimal dua orang anggota keluarga yang bekerja dari jam10. 00 sampai selesai jam 15.00. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara rutin setiap hari sebagai pekerjaan warisan dari orang tua. Penghasilan yang diperoleh menjadi tidak sebanding dengan lamanya waktu yang diperlukan untuk bekerja. Untuk mencukupi kebutuhan sekolah, orangtua harus melakukan pekerjaan sampingan; sebagai buruh bangunan, buruh cuci dan beternak kambing. Tingkat pendidikan, di wilayah RT 03 di desa Grumbulmunthuk diketahui, bahwa sebagian besar 60 persen mengenyam pendidikan setingkat SD dan 40 persen berpendidikan SLTP. Rendahnya tingkat pendidikan dalam kenyataan berakibat pada rendahnya pengetahuan dalam memanfaatan IPAL. Hasil pengamatan langsung di desa Grumbulmunthuk diketahui, bahwa kondisi lingkungan perumahan para perajin tahu ternyata cukup padat dan relatif kumuh dengan kemanfaatan selain digunakan sebagai tempat hunian digunakan pula sebagai tempat usaha yakni kegiatan pembuatan tahu, kandang ternak dan pembuangan sampah. kemiskinan yang dialami oleh perajin tahu berakibat pada rendahnya partisipasi untuk memanfaatkan TTG/IPAL. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan perajin tahu tentang pemanfaatan IPAL, belum adanya kesiapan masyarakat untuk menerima program, serta lemahnya kerja sama lintas sektoral dalam penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan TTG/IPAL, merupakan berbagai faktor yang Jurnal PKS Vol 14 No 3 September 2015; 317 - 328 321 berkaitan dengan partisipasi perajin tahu dalam memanfaatkan TTG.

Hasil penelitian Wahyu Setyawati, Tity (2010) menyimpulkan terdapat hubungan antara pendidikan dan pendapatan terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dengan memanfaatkan Teknologi Tepat Guna. Dari hasil wawancara, ternyata partisipasi perajin tahu berpedidikan SD (15 orang) dengan tingkat partisipasi rendah dan berpendidikan SLTP (10 orang) cukup. Tingkat partisipasi terbagi menjadi cukup dan rendah. Untuk kategori cukup, bentuk partisipasi yang dilakukan masih sebatas pada pemanfaatan IPAL dan pemasok limbah, belum sampai pada perawatan, pembayaran iuran dan ikut serta dalam kegiatan kelompok. Untuk partisipasi yang rendah, bentuk partisipasi yang dilakukan sebatas pada pengguna biogas. Terkait dengan rendahnya pendidikan perajin tahu, hal ini disebabkan karena rendahnya pendidikan orangtua, dan keterbatasan pengetahuan orangtua tentang arti pentingnya pendidikan bagi anak. Sejak usia sekolah, anak-anak sudah belajar membuat tahu dan berjualan di pasar. Kondisi yang demikian semakin nyata kebenarannya, dari hasil wawancara dengan perajin tahu yang menyatakan bahwa pekerjaan sebagai perajin tahu telah dilakukan bertahun-tahun secara turun temurun dari nenek sampai ke anak cucu. Wawancara dengan salah seorang perajin tahu yaitu (DN: bukan nama sebenarnya) yang berpendidikan SD dengan tingkat partisipasi rendah, terungkap perihal keikutsertaanya untuk perawatan IPAL dan pemeliharaan lingkungan tempat tinggal, maka jawaban yang diberikan adalah saya biasa membuang sampah dan kotoran hewan di dekat rumah dan menjadi satu limbah tahu. Selain itu juga belum memanfaatkan IPAL, untuk pembuatan tahu dia memilih menggilingkan kedelai di tempat lain. Hal ini dilakukan karena menurutnya ongkosnya lebih murah. Sedang untuk perawatan IPAL, mereka yang berpendidikan SD mengaku tidak mampu membayar iuran, karena pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Menjadi faktor rendahnya partisipasi perajin tahu untuk memanfaatkan IPAL.  Kurangnya pengetahuan dalam perawatan IPAL terlihat dengan perilaku; kurang peduli terhadap kerusakan pada saluran pipa gas, belum melakukan komunikasi dan konsultasi dengan BLH selaku pembuat program, dan belum ada kesanggupan membayar iuran perawatan IPAL secara rutin. Hal ini terungkap dari pernyataan ketua RT sebagai ketua kelompok, “Jika terjadi kerusakan pada pipa penyalur gas, hanya ketua kelompok saja yang mengeluarkan biaya untuk membetulkan pipa gas dengan alasan belum mempunyai cukup uang untuk membayar iuran”. “sebagai pemanfaat IPAL sebagaian dari mereka belum mau meluangkan waktu untuk ikut serta memperbaiki dengan alasan tidak ada waktu” . Diungkapkan pula bahwa masuknya teknologi baru, tidak serta merta membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi acapkali membebani masyarakat baik secara mental (ketidakmampuan skill) maupun materiil dan menimbulkan beban biaya yang tidak mampu dipenuhi masyarakat.

Erat kaitannya dengan tingkat pendidikan adalah penghasilan dan matapencaharian (Sunarti: 2001). Jenis mata pencaharian akan menentukan ada tidaknya waktu luang yang tersedia untuk melakukan berbagai kegiatan di dalam masyarakat. Dari hasil wawancara dengan perajin tahu diketahui penghasilan mereka yang berkisar antara Rp 30.000,00,- sampai Rp 40.000,00,- per hari, dengan jumlah tanggungan keluarga antara lima sampai enam orang, belum memperhitungkan tenaga dan bahan bakar, karena biogas yang dihasilkan belum mampu untuk mengganti bahan bakar pembuatan tahu. Dengan pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup se hari-hari, perajin tahu mengaku tidak mampu mengeluarkan biaya untuk perawatan IPAL. Perawatan IPAL dan menjaga lingkungan adalah norma yang harus ditaati ketika di lingkungan perajin tahu terdapat IPAL. Hasil pengumpulan data tentang kesiapan perajin tahu dalam pemanfaatan dan perawatan IPAL, diketahui bahwa pemanfaat IPAL pengguna biogas belum mempunyai kesiapan baik secara ekonomi maupun sosial. Ketidaksiapan secara ekonomi dapat diketahui dari keterbatasan kemampuannya dalam mengumpulkan iuran untuk perawatan IPAL. Hasil wawancara dengan 25 orang perajin tahu, diketahui baru 10 orang yang mempunyai kesanggupan untuk membayar iuran perawatan IPAL. Kesiapan secara sosial antara lain terlihat dari belum adanya kebersamaan masyarakat untuk pengelolaan lingkungan dan perawatan IPAL. Hasil wawancara dengan ketua pengelola IPAL diperoleh informasi bahwa kebersamaan perajin tahu untuk perawatan masih rendah. Menghadapi masalah tersebut ketua pengelola IPAL menyatakan: “untuk mengelola Penanggulangan Kemiskinan dengan Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna (Sri Prastyowati) 324 lingkungan dan perawatan IPAL secara berkelanjutan kami memerlukan pendampingan”.  Pendampingan yang dilakukan bukan sebatas pada perawatan IPAL, lebih dari itu perlu diupayakan pendampingan untuk merubah perilaku yang kurang mendukung keberhasilan pemanfaatan TTG/IPAL.

 

2.       Alternatif kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dengan Pemanfaatan TTG

 Kerja sama lintas sektoral: Mengingat masalah kemiskinan adalah masalah nasional yang dalam penanganannnya memerlukan kerjasama antar instansi, maka kerjasama tersebut dapat dilakukan antara Kementerian Sosial dengan Kementerian Riset dan Tekonologi serta masyarakat pengguna. Di daerah kerjasama dilakukan antara Badan Lingkungan Hidup (BLH) dengan Dinas Sosial dan masyarakat pengguna . Badan Lingkungan Hidup sebagai penentu kebijakan penerapan IPAL dalam pelaksanaannya akan mempersiapkan masyarakat untuk dapat menerima penempatan IPAL sebagai kebutuhan. Untuk perawatan dan pemeliharaan IPAL dibutuhkan partisipasi masyarakat secara aktif. Untuk meningkatkan partisipasi diperlukan perubahan perilaku yang mendukung keberhasilan pemanfaatan IPAL. maka perlu diupayakan pendampingan secara berkelanjutan. Untuk kegiatan pendampingan Dinas Sosial menempatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK). Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), adalah pekerja sosial yang telah dibekali dengan ilmu-ilmu sosial murni dan ilmu sosial terpanan. Pendamping dilakukan oleh seorang profesional dan akan berperan sebagai fasilitator, komunikator, dan dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian (Soegijoko dkepala keluarga, 1997: 179). TKSK sebagai pendamping perajin tahu untuk memanfaatkan IPAL dengan sasaran target pada peningkatan partisipasi perajin tahu akan melakukan peran sebagai berikut. Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan sebagai fasilitator , Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini adalah melakukan mediasi dan negosiasi, memberi dukungan serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber. Negosiasi dilakukan antara perajin tahu dengan pemangku kebijakan. Berdasarkan hasil konfirmasi dengan TKSK diketahui bahwa selama menjadi TKSK belum pernah melalukan mediasi dan negosiasi berkaitan dengan pendampingan dalam pemanfaatan IPAL. oleh perajin tahu dengan menyatakan “selama penempatan IPAL di wilayahnya belum pernah mendapat pendampingan dari TKSK. Mediasi dan negosiasi dilakukan sebelum dan selama program berlangsung. Sebelum program berlangsung negosiasi dilakukan dalam rangka mendapat informasi terkait dengan kemanfaatan TTG/IPAL bagi perajin tahu, sedang mediasi dan negosiasi selama memanfaatkan IPAL dilakukan jika selama memanfaatkan IPAL perajin tahu menemui masalah.

Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan sebagai agen perubahan, Hasil wawancara dengan salah seorang perajin tahu (HS) diperoleh informasi bahwa untuk pemanfaatan, perawatan IPAL belum pernah dilakukan penyampaian informasi dan pelatihan secara rutin. Terkait kerjasama antara Badan Lingkungan Hidup dengan Dinas Sosial Tenagakerja dan Transmigrasi dapat dilakukan dengan memfungsikan TKSK untuk menyampaikan informasi dan memberikan latihan keterampilan membangun kerjasama antara perajin tahu dengan aparat Badan Lingkungan Hidup dan aparat pemerintah setempat, di samping itu perlunya bekal pengetahuan tentang kemanfaatan IPAL. Dengan perannya sebagai agen perubahan, TKSK akan melakukan pendekatan baik kepada pembuat kebijakan. Peran sebagai agen perubahan ditujukan pula untuk merubah perilaku perajin tahu dalam memanfaatkan IPAL. Peran TKSK sebagai wakil perajin tahu, Hasil wawancara dengan TKSK diketahui bahwa perannya sebagai pendamping dengan tugas menjadi wakil perajin tahu untuk memobilisasi sumber dan memanfaatkan potensi masyarakat belum dilakukan karena berbagai keterbatasan kemampuan yang dimilki oleh TKSK. Hasil konfirmasi melalui wawancara dengan aparat Dinas Sosial (Dw): diketahui bahwa keterbatasan TKSK terjadi karena kurangnya latihan keterampilan dalam hal menjalin kerjasama untuk mobilisasi sumber dalam penanganan masalah kemiskinan. Dalam realita pendampingan pemanfaatan IPAL belum dilakukan oleh tenaga yang mampu menjadi wakil perajin tahu untuk mendapat informasi secara terkait dengan pemanfaatan IPAL secara berkelanjutan. Berikut penuturan (Pangidin) perajin tahu pemanfaat IPAL: “Kami baru mendapat pendampingan saat penempatan IPAL, untuk pemeliharaan dan perawatan IPALbelum dilakukan pendampingan secara rutin dan terus menerus.”

 

  

 ----------------------------------------------------------------------------------------------

BAB III

PENUTUP

 

3.1 KESIMPULAN

Hasil kajian tentang Penanggulangan Kemiskinan Dengan Pemanfaatan
TTG/IPAL bagi perajin tahu di Dusun Grumbulmunthuk, dapat disimpulkan; bahwa penempatan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) dilingkungan perajin tahu belum dapat dimanfaatkan dengan baik karena beberapa faktor yaitu: Penempatan IPAL dikalangan perajin tahu belum diiringi dengan partisipasi perajin tahu secara memadai atau partisipasi perajin tahu masih rendah. Rendahnya tingkat partisipasi perajin tahu yang disebabkan karena berbagai keterbatasan; rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan penghasilan perajin. Dengan berbagai keterbatasan, maka belum ada kesiapan dari perajin tahu baik secara ekonomi maupun sosial. Belum adanya kesiapan secara ekonomi terlihat dari sebagian besar perajin yang belum sanggup untuk membayar iuran pemeliharaan IPAL secara rutin, sedangkan untuk kesiapan secara sosial terejawantah dalam bentuk bentuk perilaku; membuang kotoran hewan manjadi satu dengan limbah tahu, lingkungan rumah tempat tinggal yang kumuh dan berdekatan dengan hewan peliharaan (sapi, kambing). Lemahnya kerjasama antar instansi dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna, kerja sama yang dilakukan masih sebatas regulasi. Dalam pelaksanaannya di daerah belum diupayakan kerja sama dengan melakukan komunikasi dan koordinasi antar instansi terkait.Penempatan tenaga pendamping yang menguasai ilmu pekerjaan sosial terapan, akan menyiapkan perajin tahu untuk menerima program penempatan IPAL untuk mengolah limbah tahu menjadi biogas juga belum dilakukan, begitu pula pendampingan untuk perawatan dan perubahan perilaku perajin tahu.

3.2 SARAN

Mengingat pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dengan pemanfaatan Teknologi Tepat Guna/IPAL yang belum dapat berhasil secara maksimal, maka rekomendasi yang diajukan adalah; Melakukan MOU di tingkat pusat antara Kementerian Riset dan Teknologi dengan Kementerian Sosial, sedang di tingkat daerah Kabupaten/Kota. MOU dilakukan antara Dinas Sosial Tenagakerja dan Transmigrasi dengan Badan Lingkungan Hidup terkait dengan pemenpatan IPAL yang berkelanjutan. Penempatan dan pemanfaatan IPAL berkelanjutan dapat dilakukan dengan memanfaatkan pendamping yang mampu melakukan penJurnal PKS Vol 14 No 3 September 2015; 317 – 328 327 dekatan kepada masyarakat terkait berubahan perilaku dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat; Bagi Kementerian Sosial selaku penentu kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan, perlu mengupayakan pendampingan dengan meningkatkan jumlah dan keterampilan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dalam membangun jalinan kerjasama antar instansi. TKSK sebagai tenaga pendamping dalam penanggulangan kemiskinan hendaknya melakukan koordinasi dan komunikasi dengan instansi terkait.Melalui koordinasi dan komunikasi dengan Dinas Sosial, Badan Lingkungan Hidup (BLH), serta organisasi sosial fungsional lainnya. TKSK memberikan informasi memanfaatkan dan perawatan IPAL. Pengetahuan dan pemahaman masayarakat tentang kegunaan dan manfaat IPAL akan berpengaruh terhadap perilaku. Dengan pengetahuan dan pemahaman perajin tahu tentang pemanfaatan dan perawatan IPAL, diharapkan terjadi perubahan perilaku untuk memanfaatkan IPAL; Bagi pemerintah daerah, hendaknya melakukan inventarisasi secara berkala tentang potensi wilayah, baik itu berupa sumberdaya manusia maupun sumber daya alam. Inventarisasi potensi sumber daya manusia dapat dilakukan kerjasama antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Masyarakat melalui aparat setempat (RT) memberikan informasi tentang potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimilki dan membuat rencana pemanfaatannya.

 

 

 

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 DAFTAR PUSTAKA

 

Prastyowati,Sri.(2015). Penanggulangan Kemiskinan dengan Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna. Jurnal PKS Vol 14, No 3.

https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:EHt5XucVUwAJ:https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/jpks/article/download/1328/735+&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=id